Syekh Nurjati atau juga disebut Datuk Kafi adalah ulama asal Malaka yang medakwahkan Islam di Cirebon. Nama Syekh Nurjati ia peroleh pada saat berdakwah di Gunung Jati Cirebon. Selain itu ada banyak nama yang dimiliki ulama ini, yaitu Syekh Idhofi, Syekh Datuk Barul, Syekh Datuk Iman, Syekh Dulyamin dan Maulana Idhofi Mahdi.


Sebelum mendakwahkan ajaran Islam di Cirebon, masa remajanaya dihabiskah di Mekah untuk menuntut ilmu, disana juga ia melaksanakan berhaji, setelah dari Mekkah ia pergi ke Baghdad untuk berguru, di Bagdad ia berjodoh dengan Syarifah Halimah. Setelah puas di timur tengah barulah pulang ke kampung halamannya Malaka sebelum akhirnya memutuskan untuk mendakwahkan Islam di tanah Sunda. Beliau membuka tempat dakwahnya di Pasambangan, pada saat itu Pasambangan adalah bagian dari Nagari Singapura (sekarang Desa Mertasinga, Kabupaten Cirebon). Beliau dimakamkan di Gunung Jati.,

Ditinjau dari silsilahnya,  Syekh Nurjati adalah putra dari Syekh Datuk Ahmad, Syekh Datuk Ahmad adalah ulama besar di Malaka. Ayahnya adalah Putra dari Maulana Isa, Maulana Isa juga adalah tokoh berpengaruh di kampung halamanya.


Syekh Datuk Ahmad mempunyai adik yang bernama Datuk Sholeh, Datuk Sholeh adalah ayahanda dari Syekh Siti Jenar (Abjul Jalil). Dengan demikian antara Syekh Nurjati dan Syekh Siti Jenar masih saudara. Syekh Nurjati memiliki dua orang adik. Pertama, Syekh Bayanullah yang kelak mengikuti jejak kakaknya berdakwah di Cirebon. Kedua, seorang wanita yang menikah dengan raja Upih Malaka. Hasil dari perkawinan tersebut lahir seorang putri yang kemudian menikah dengan Dipati Unus dari demak.

Silsilah Syekh Nurjati/ Datuk Kahfi yang bersambung dengan Sayyid Alawi bin Muhammad Sohib Mirbath hingga Ahmad al- Muhajir bin Isa ar-Rumi (Hadramaut, Yaman) dan seterusnya hingga Imam Husain, Cucu Nabi Muhammad SAW. Berikut ini adalah uraiannya:

Nabi Muhammad SAW berputri :

Sayidah Fatimah Az-Zahra menikah dengan Imam Ali bin Abi Thalib, Berputra

Imam Husain a.s, berputera

Imam Ali Zaenal Abidin, berputera

Muhammad al-Baqir, berputera

Imam Ja’far ash-Shadiq, berputera

Ali al-Uraidhi, berputera

Muhammad al-Naqib, berputera

Isa al-Rumi, berputera

Ahmad al-Muhajir, berputera

Ubaidillah, berputera

Alawi, Berputera

Ali Khali Qosam, berputera

Muhamad Shahib Mirbath, berputera

Sayid Alwi, berputera 

Sayid Abdul Malik, berputera

Sayid Amir Abdullah Khan (Azamat Khan), berputera

Sayid Abdul Kadir, berputera

Maulana Isa, berputera

Syekh Datuk Ahmad, berputera

Syekh Datuk Khafi/Syekh Nurjati

Baca Juga:


Sebelum mendakwahkan agama di tanah Cirebon, Syekh Nurjati atau Syekh Datuk Khafi menikah dengan Syarifah Halimah, Syarifah Halimah adalah putri dari Ali Nurul Alim. Ali Nurul Alim adalah putra dari Jamaludin al Husain dari Campa, yang merupakan putra dari Ahmad Shah Jalaludin, Ahmad Shah Jalaludin adalah putra dari Amir Abdullah Khanudin, di Baghdad Syekh Nurjati hidup dan berumah tangga dan dikarunia empat orang putra dan putri. Kemudian syekh Nurjati di utus oleh Raja Baghdad untuk berdakwah di tanah Jawa dan mengikuti apa kata hatinya


Kedatangan Syekh Nurjati Ke Cirebon

Selepas mendapatkan perintah dari Raja,  Syekh Nurjati bersama istrinya, pergi berkelana untuk berdakwah meninggalkan keempat anaknya yang masih kecil-kecil. Dalam perjalanannya, sampailah Syekh Nurjati di Pelabuhan Muara Jati dengan penguasa pelabuhan bernama Ki Gedeng Tapa/Ki Ageng Jumajan Jati. Sesampainya di pelabuhan Muara Jati, Syarifah Halimah berganti nama menjadi Nyi Ratna Jatiningsih/Nyi Rara Api.

Perkampungan yang dekat dengan Pelabuhan Muara Jati disebut Pesambangan. Syekh Nurjati mendarat di Muara Jati setelah pendaratan Syekh Quro dan rombongannya. Syekh Nurjati bersama rombongan dari Bagdad sebanayak sepuluh pria dan dua orang perempuan tiba di Muara Jati.

Rombongan diterima oleh Penguasa Pelabuhan Muara Jati dengan baik, kala itu yang menjabat sebagai Syahbandar adalah Ki Gedeng Tapa/Ki Mangkubumi Jumajan Jati, peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1420 M. Syekh Nurjati mendapatkan ijin dari Ki Gedeng Tapa untuk bermukim di daerah Pesambangan, di sebuah bukit kecil yang bernama Giri Amparan Jati.

Ditempat baru tersebut, Syekh Nurjati giat berdakwah sebagai da’i mengajak masyarakat untuk mengenal dan memeluk agama Islam. Setelah mendengar tentang agama baru itu, orang orang berdatangan dan menyatakan diri nya masuk islam dengan tulus ikhlas. Semakin hari semakin banyak orang yang menjadi pengikut Syekh Nurjati.

Membuat Pesantren di Gunung Jati

Setelah giat melakukan dakwah dan berinteraksi dengan masyarakat sekitar, akhirnya Syekh Nurjati menikah dengan Hadijah.
Hadijah adalah cucu Haji Purwa Galuh atau Raden Bratalegawa, yang dalam sejarah disebut sebagai orang pertama yang pergi berhaji dari tanah Sunda, Hadijah adalah janda dari seorang saudagar kaya raya yang berasal dari Hadramaut.

Dengan pria tersebut Hadijah tidak dikaruniai putra, namun setelah pria itu meninggal dunia, Hadijah memperoleh seluruh harta warisan dari suaminya. Setelah suaminya meninggal, Hadijah bersama kedua orang tuanya pulang ke Kerajaan Galuh dan menetap di Dukuh Pesambangan.

Harta warisan tersebut digunakan Hadijah bersama suami barunya, yaitu Syekh Nurjati untuk membangun sebuah pondok pesanteren di Gunung Jati yang kelak diberi nama Pesantren Pesambangan Jati.

Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Rara Santang Mondok di Amparan Jati

Dalam menjalankan dakwah di pesantrennya Syekh Nurjati  menggunakan cara-cara yang bijaksana dan penuh khidmat dalam mengajarkan agama Islam, maka dalam waktu yang relatif singkat pengilutnya semakin banyak, hingga akhirnya pesantren yang ia dirikan kedatangan Pangeran Walangsungsang dan adiknya Rara Santang.

Di Pesantren Amparan Jati kakak beradik yang kelak menjadi penguasan Cirebon itu di didik ilmu keagamaan hingga Sykeh Nurjati merasa seluruh Ilmu yang dipunya sudah diserap oleh keduanya, oleh karena itu kemudian Syekh Nurjati memerintahkan kedua murid terkemukanya itu untuk ibadah Haji ke Kota Suci sambil belajar Islam di sana.

Syekh Nurjati Wafat

Syekh Nurjati adalah tokoh utama penyebar agama Islam yang pertama di Cirebon. Tokoh yang lain adalah Maulana Magribi, Pangeran Makdum, Maulana Pangeran Panjunan, Maulana Pangeran Kejaksan, Maulana Syekh Bantah, Syekh Majagung, Maulana Syekh Lemah Abang, Mbah Kuwu Cirebon (Pangeran Cakrabuana), dan Syarif Hidayatullah.

Sunan Gunung Jati menjadikan Cirebon sebagai pusat kegiatan dakwah Islam. Dan konon, di tempat inilah para Walisongo biasa berkumpul. Dengan dipimpin oleh Sunan Gunung Jati, Walisongo bermusyawarah menyiapkan strategi dan agenda dakwah Islam kepada masyarakat.

Peran Walisongo, terutama Sunan Gunung Jati, dalam mengislamkan tanah Cirebondan Pulau Jawa, sangat besar. Bahkan, Sunan Gunung Jati dikenal pula sebagai orang yang memerdekakan wilayah Cirebon dari kekuasaan Kerajaan Pajajaran yang ketika itu dipimpin oleh Prabu Siliwangi. Sejak peristiwa yang berlangsung pada 12 Shafar 887 Hijriah atau 2 April 1482 Masehi itu, Cirebon resmi berdiri sendiri sebagai Kerajaan Islam Cirebon.

Berkat jasa Sunan Gunung Jati itu pula, Islam mampu tampil sebagai sebuah kekuataan politik. Sedangkan sebelumnya, Islam hanya sebatas ajaran yang masih berada di bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran yang beragama Hindu.

Namun, di balik kiprah Sunan Gunung Jati itu, ada peran besar dari seorang ulama yang senantiasa membimbingnya. Dialah Syekh Nurjati. Ulama ini dikenal sebagai guru  Sunan Gunung Jati yang senantiasa memberikan bimbingan dan pengetahuan agama kepadanya. Tak hanya kepada Sunan Gunung Jati, Syekh Nurjati juga mengajarkan agama Islam kepada ibunda Sunan Gunung Jati, Nyi Mas Rarasantang, dan pamannya, Raden Walangsungsang.

Nyi Mas Rarasantang dan Raden Walangsungsang merupakan putra Prabu Siliwangi dengan Subang Larang. Kedua kakak beradik itu rela meninggalkan gemerlap kehidupan istana demi mempelajari agama Islam.


Dalam buku, Syekh Nurjati, Mahaguru Agama Islam dari Syarif Hidayatullah yang Bergelar Sunan Gunung Jati yang diterbitkan oleh Panitia Peresmian Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon, 2010, disebutkan bahwa Syekh Nurjati memiliki nama asli Maulana Idhofi Mahdi. Dia adalah ulama besar yang berasal dari semenanjung Malaka. Ayahnya bernama Syekh Datuk Ahmad.

Tidak diketahui secara pasti kapan Syekh Nurjati lahir. Namun dalam usia muda, dia telah pergi menunaikan ibadah haji ke Makkah. Setelah itu, Syekh Nurjati mengembara dan menuntut ilmu hingga sampai ke Baghdad, Irak. Dan di Negeri 1001 Malam tersebut, Syekh Nurjati menikahi seorang perempuan bernama Syarifah Halimah.

Dari pernikahan itu, Syekh Nurjati dikaruniai empat orang putra. Dari empat orang putranya tersebut, dua di antaranya bernama Syekh Abdurrahman (bergelar Pangeran Panjunan, pendiri Masjid Merah Panjunan di Kota Cirebon), dan Syekh Abdurrahim (bergelar Pangeran Kejaksan, pendiri masjid keramat Kejaksan di Kota Cirebon).

Namun, menurut seorang kuncen makam Syekh Nurjati, Miftahul Ulum, ulama ini tidak memiliki istri. Karena tak memiliki istri, sudah pasti juga tak pernah memiliki anak. Sedangkan mengenai Pangeran Panjunan maupun Pangeran Kejaksan, lanjutnya, keduanya adalah pedagang dan penyebar agama Islam dari Arab

Mengenai hukum menggunakan benda bertuah banyak sekali pro kontra di masyarakat, namun banyak sekali ulama’ besar yang membolehkan.


Asalkan dalam benda atau media sewajarnya maka sah-sah saja menggunakanya. Lihat Hukum Menggunakan Benda Bertuah …

. Lihat Hukum Menggunakan Benda Bertuah KLIK DISINI

Semoga Artikel ini Bermanfaat.

Pesan saya bila sobat ingin mengamalkan jangan Lupa isi Kolom komentar QOBILTU IJIN MENGAMALKAN.Sebagai pengganti Mahar ijab qobul ijazah keilmuan.




Post a Comment

Previous Post Next Post